Banyak kontroversi
yang muncul ketika ada statement “Indonesia adalah Negara Islam”. Yang
nasionalis banget pasti bakal mencak-mencak kalau dibilang negara yang
dihuninya ini adalah negara Islam. Untuk yang golongan ini saya say
“Whatever-lah”. Pun juga pasti ada yang lonjak-lonjak girang banget denger
statement ini, lalu sebagian ada yang curi statementnya Yusuf Qardhawi yang
bilang, “Sesungguhnya kebangkitan Islam akan berawal dari Indonesia” –yang
belakangan saya dengar statement ini sudah diralat-. Untuk yang golongan kedua
saya say, “Slow and calm down”.
Saya tidak sedang
ingin mengapungkan dan memisahkan mana yang nasionalis dan mana yang bukan. Ini
hanya sekedar catatan iseng hasil penemuan saya dari silaturahim syawal ke-3
kemarin. Sejujurnya gk punya nyali untuk menuangkan ‘penemuan’ ini dalam
tulisan yang dikonsumsi orang, karena pasti nanti muncul perdebatan, tapi
dengan iktikad baik agar supaya biar otak saya gk beku, jadi saya tulis. Kalau
tulisannya tak terformat dengan apik, mohon maaf ya readers...
Boleh saya bilang
kalau Indonesia ini adalah negeri Islam? Boleh?
Yah, kita sudah
sepakat mengatakan Indonesia adalah Negara Islam. Lalu anda boleh
bertanya-tanya kenapa saya bilang begitu. Jawaban yang ada dipikiran saya
mungkin akan sangat jauh berbeda dengan yang anda kira, karena saya tidak
sedang ingin menguak itu dari dalil-dalil Negara Islam itu sendiri atau
sejenisnya.
Bukan lautan tapi kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu, dan batu jadi tanaman...
3 syawal lalu, aku
beserta rombongan Alumni Rismakansa yang tercover dalam Forum Alumni Rismakansa
sedang punya hajat berkunjung kerumah alumni. Tempat yang jaraknya belum
terpetakan dibenakku karena memang belum pernah melancong kesana sebelumnya.
Meski was-was akan ancaman petaka berkendaraan, aku meyakinkan diriku bahwa all
iz well ditambah yel-yel cemunguud ea dari pihak lain turut menstimulasi
keyakinanku; all iz well.
60 menit pertama,
perjalanan aman-aman saja. Jalan mulus dan lebar, dan kondisi sosial masyarakat
tepian yang wajar-wajar saja membuat perjalanan sang angkot tampak anggun
memesona. Masuk ke putaran kedua. 5 menit pertama diputaran kedua, jalan masih
halus lancar. Dan kami –terutama aku- mulai berfikir bahwa bahaya yang
didengungkan orang tua adik kelasku yang gagal ikut hanyalah dongeng semata.
Barulah lima menit kedua, ekstase menegangkan mulai terbentuk. Tak ayal lagi,
cerita orang tua adikku melompat meninggalkan plat dongeng di otakku. Bahaya
itu nyata.
Untuk menit-menit
selanjutnya rupanya was-was itu memang nyata. Dan benar-benar menjadi nyata
setelah kami berhasil sampai dihujung tujuan dengan melewati 15 rintangan yang
disangkakan.
0 komentar:
Posting Komentar