“astaghfirullahaladziim, cobaan apa lagi ini
ya Allah...” gumamnya lirih dalam batinnya yang dikurung perih. Sementara
dibalik pintu kamarnya serapah berjejalan memenuhi tiap inci ruang keluarga.
Tak ada satu patah pun yang sedap didengar ataupun lega disimpan dihati.
“Astaghfirullahaladziim,” lirih, namun
memantul menjadi getaran yang meruntuhkan bening diujung matanya. Paru-paru
tlah disesaki udara yang belum lagi usai keluar-masuk tenggorokan. Dunia
senyap, hanya helaan karbondioksida yang baru lolos dari paru-paru yang
menyertai.
Betapa menjadi mutiara ditengah lumpur yang
pekat itu amatlah memedihkan. Putihnya tak juga mampu mengakulturasi hitam
disekitarnya. Semua tetap menjadi dirinya masing-masing yang terpisah dalam
kesatuan. Hitam adalah hitam, dan putih tetaplah putih.
“Sudahlah, susah bicara dengan orang yang
pandai. Seperti berbicara dengan keledai saja.” Umpatan yang serupa terus
terlontar.
“Astaghfirullahaladziim,” gerimis semakin
deras, melahirkan riak kecil dipipi-pipinya yang menirus. Matahari terbenam,
dan membawa pergi kedamaian bersamanya. Tak ada yang tersisa selain keping
hatinya yang berserakan. Hatinya yang melunak kembali mengkristal. Adakah
kehidupan yang baik sesudah ini?
***
Ia baru saja menyelesaikan tilawahnya magrib
itu, dan bangkit menemui gelas minum untuk membasahi tenggorokannya yang
kering. Handphone bututnya berdering pula kala itu. Nomor baru, “Hallo,”
“Raya, motornya yang ijo udah ada, tapi ada
sedikit kecacatan di bagian sayapnya. Gimana? Mau tetep diambil apa mau nunggu
nyari lagi?”
“Emm, ini tante Elli?, gini aja tante,
kira-kira berapa lama lagi barangnya ada?”
“Wah, kalau itu saya kurang tau, mungkin satu
minggu lagi. Gimanya?”
“Ya udah deh, Raya tunggu sampe seminggu
lagi.”
“O gitu, ya udah.” Tut tut tut, telepon pun
terputus.
0 komentar:
Posting Komentar