Hari ini aku
benar-benar merasa telah menjadi seorang ayah. Putri sulungku satu-satunya
telah memasuki usia sekolah dan hari ini adalah hari pertama ia memasuki
pendidikan anak usia dini. Sudah lama kami mendambakan seorang anak. Kami baru
memiliki anak tiga tahun kemudian sejak pernikahan kami 6 tahun lalu.
Putriku telah siap
dengan seragam ungu yang dikenakannya. Rambut yang diikat dua dengan hiasan
kecil diatasnya membuatnya semakin cantik. Aku sendiri sudah rapi dengan
setelan celana pastel dan kemeja ungu peninggalan masa lajangku dulu. Aku
kemudian mendudukkannya diboncengan belakang motor bututku.
Jarak antara
sekolah dengan rumah bisa terbilang dekat. Hanya sekitar dua kilometer yang
sebenarnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, karena ini adalah hari
pertamanya masuk sekolah, aku ingin mengantarkannya menggunakan motor, putriku
ini senang sekali naik motor. Setelah salam dan berpamitan, kami pun bergegas
menuju sekolah. Bagaimanapun kami tak boleh terlambat.
Ntah mengapa, pagi
ini jalanan sangat padat. Padahal dihari-hari biasanya jalanan yang kulalui ini
cenderung lengang dari kendaraan. Hanya beberapa motor dan angkot yang kerap
berseliweran. Hatiku was-was, takut kalau-kalau kami terlambat. Aku tak ingin
putriku malu dengan teman-temannya.
Ku pacu motorku
dengan kecepatan yang sedikit lebih tinggi. Namun padatnya kendaraan membuatku
harus banyak mengerem agar tidak menabrak kendaraan didepanku. Aku semakin
gelisah, karena jam menunjukkan 07.24. Enam menit lagi kelas putriku masuk.
Aku mengarahkan
motorku menuju gang didepan jalan. Mencari jalan alternatif. Padatnya kendaraan
tetap membuatku tak dapat berkutik. Satu-satunya jalan adalah mendahului truk
besar yang ada dibagian paling depan yang berjalan sangat pelan. Ku kumpulkan
keberanianku, karena aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Demi putriku,
akan kuterobos laskar kuda-kuda besi ini.
Ketika hampir
melewati kepala truk, tiba-tiba dari arah berlawanan muncul motor dengan
kecepatan tinggi dan menyenggol motorku yang saat itu hampir berada di jalur
kanan yang berlawanan arah. Putriku terjatuh. Menyadari hal itu, refleks aku
menghentikan motorku dan berlari menyelamatkan putriku. Aku berhasil mendekap
tubuhnya, namun belum sempat aku membawanya ke tepi, ban truk telah mencapai
tubuh kami. Ku dorong putriku agar tak ikut terlindas sementara ban truk telah
mencapai tanganku.
Tuhan, inikah
ajalku?, teriak batinku lirih. Tapi mengapa harus dihari yang membahagiakan
ini? Ban truk semakin sadis menggilasku. Aku tak mampu merasakan apapun lagi.
Ntah apa yang terjadi kemudian. Di ujung nafasku, aku mencari sosok putriku.
Dia, ada didepanku. Tangan kami berpegangan erat. Dia tampak baik-baik saja,
bersyukur aku lekas mendorongnya hingga ia tak ikut terlindas. Nafasku sengal,
dan terasa semakin sesak. Sekali lagi kulihat putriku, matanya terpejam, tapi
tak ada luka satupun ditubuhnya. Aku pun menjemput ajal dengan tenang.
***
Diambil dari kisah
nyata yang terjadi dibelahan bumi Indonesia. Senin, 05 November 2012.
0 komentar:
Posting Komentar