“Astaga!” seruan yang cukup mengejutkan Deva. “Kau menghela napas
untuk yang ke sepuluh kalinya, bahkan untuk waktu kurang dari lima
menit. Apa masalah hidupmu begitu serius?”
“Kau ini konselor apa
psikiater sih. Jangan-jangan kau juga membubuhkan dibuku catatanmu
berapa kali aku berkedip dalam semenit.” Dengus Deva kesal.
“Hey,
kau perlu tau sobat. Aku belajar lebih dari sekedar menjadi konselor.
Aku juga mempelajari bagaimana menjadi seorang pengacara, psikiater,
guru, public speaker, entrepreneur, dan tak lupa tentu aku mempelajari
ilmu botani sangat dalam. Aku mempelajari semua Dev, semua yang
dibutuhkan untuk menghasilkan uang dan kesenangan. Aku bahkan mungkin
lebih dalam mempelajarinya dari mereka yang sekedar iseng mencari titel
diujung namanya.”
“Bahkan kau tak kan menyangka, aku pun banyak mengkaji cara-cara para tikus berdasi itu tentang skenarioo me-mark up
anggaran, dan tak luput aku pun berusaha menjadi konsultan keuangan
yang baik untuk aksi mereka. Kau tentu tau maksudku, semua benar-benar
menarik bukan?.” Amir bersemangat menjelaskan bakatnya.
“Lima
tahun tidak bertemu ternyata membuatmu benar-benar berubah Am, bahkan
aku masih tidak mengenali sahabat kecilku sampai menit ke tiga puluh
ini.” Deva melempar pandang pada ilalang yang berjajar didepannya.
“Ayolah
sobat, lupakan masa lalu tak penting itu. Kita hidup untuk sekarang,
bukan masa lalu. Aha, kau bicara apa tadi, aku berubah? Tidakkah kau
lihat dirimu kawan, kau pun banyak berubah dari Deva sang pencopet
sebelas tahun lalu dan kini, lihat tampangmu. Bah, aku bahkan tak
percaya kau adalah Deva yang dulu ku kenal.” Amir tak mau kalah.
“Sudahlah,
aku datang jauh-jauh kesini bukan untuk berdebat sobat. Sudah dua bulan
yang lalu aku mengendus keberadaanmu. Meski kau tampak agak aneh dengan
pakaianmu itu, aku senang kau baik-baik saja. Bahkan kau terlihat lebih
tampan sekarang. Haha...” Amir merangkulkan tangannya ke bahu Deva,
segera ditepiskan.
“Sudah bicaranya? Aku kembali ke kamarku.” Deva segera bangkit meninggalkan sahabat yang lama dirinduinya itu.
“Aku
tak mengerti, beginikah caramu menyapa sahabat yang lama tak berjumpa?
Deva, oke kau boleh marah padaku karena bertahun-tahun tak memberikan
kabar padamu. Kau boleh menge-capku penghianat karena tak menepati
janji, atau kau menganggap aku sebagai berandal tak tahu adab. Terserah
kau. Aku datang kesini hanya untuk melihatmu, memastikan bahwa kau
baik-baik saja. Kau pikir aku pergi dan menahan penderitaan disana untuk
apa? Apa kau pikir ku habiskan waktuku disana untuk bersenang-senang.
Kau salah...!” Amir menceracau bak petinju yang menghajar lawannya tanpa
memberi celah sedetikpun untuk bernapas. Deva terpaku ditempatnya
berdiri.
“Dev, maafkan aku. Aku mohon jangan pernah membenciku,
karena hanya kau lah harta paling berharga yang kumiliki di dunia ini.”
Amir terisak, memeluk Deva dari belakang.
“Lalu kenapa? Kau pergi
tiba-tiba, dan setelah aku berusaha mati-matian melupakanmu, kini kau
datang lagi, dengan tiba-tiba lagi.” Jawab Deva putus-putus. Tak kuasa
menahan guruh didadanya. Betapa ia ingin pun ingin balas memeluk orang
yang dicarinya bertahun-tahun itu, orang yang membanting stir hidupnya,
menjadikannya manusia yang penuh tanggung jawab dan peduli terhadap
sosial masyarakatnya. Tapi...
“Ayo kita ke rumah makan terdekat.” Amir menarik lengan Deva yang masih mematung ditempatnya berdiri.
“Tentu
aku bukan untuk mengajakmu makan dan minum sekarang. Setidaknya kita
bisa berbicara lebih nyaman sekaligus kau bisa langsung membatalkan
puasamu jika sewaktu-waktu magrib tiba. Aku yang traktir, ok.” Kali ini
dengan bahasa yang bijak Amir meyakinkan sahabatnya itu.
***
“Aku
baru kembali dari Sydney tiga bulan lalu. Awal Mei tepatnya. Sebenarnya
kontrak kerjaku sudah berakhir sejak Desember, tapi ada klien yang mau
membayarku mahal untuk meloloskan proyeknya. Aku terpaksa tinggal.”
“Hari
itu juga, satu jam setelah aku reservasi apartemen aku langsung
mencarimu. Menyusur setiap sudut kota, mendatangi tempat-tempat yang
biasa kita sambangi, tapi tetap tak ada hasil. Dua bulan mencarimu aku
hampir putus asa. Sampai suatu ketika aku duduk dibawah pohon palem yang
gagah di depan Kuto Besak, aku teringat sesuatu dan dugaanku benar, kau
meninggalkan surat disana. Dari surat itu aku mulai menemukan titik
terang keberadaanmu.” Pelayan datang bertepatan ketika Amir
menyelesaikan kalimatnya. Segera ia memenuhi daftar pesanan dengan menu
terbaik restoran itu.
“Kau tau seberapa putus asanya aku Am,
bahkan dua bulanmu itu tidak cukup untuk menebusnya. Aku hampir kembali
menjajaki bus-bus lagi satu bulan tepat setelah kau meninggalkanku
dengan surat bodohmu itu. Tapi niatku urung karena ada yang berbaik hati
meminjami tempat untukku berteduh dan bersedia menanggung makanku tiga
kali sehari, semua itu dapat kutebus dengan menjadi tukang bersih-bersih
masjid. Setidaknya aku merasa lebih aman disana, tidak perlu tidur di
teras toko lebih-lebih mencopet untuk makan. Dari sanalah aku belajar
hidup. Aku mengingatkan diriku untuk senantiasa bertanggung jawab pada
diri sendiri dan orang-orang yang mempercayaiku. Dari sana pula aku bisa
berada disini. Tak terbayang sudah besarnya jasa para ta’mir disana
dalam hidupku.” Deva menerawang, memutar kembali slide-slide dokumenter
masa lalunya.
Sudah lima belas menit sejak order, tapi
pelayan belum datang membawa menu berbuka Deva. Sengaja Amir meminta
agar disajikan lima menit sebelum magrib tiba, biar masih hangat. Dia
tau betul selera Deva.
“Lalu suratmu itu?” Amir bertanya tanpa
mengalihkan pandangannya dari wajah Deva yang masih lurus memandang ke
arah luar restoran. Gerimis mulai turun.
“Aku datang kesana tepat
dua bulan lalu, ada pertemuan para santri se-Sumbagsel dan aku ditunjuk
mewakili pesantrenku ini. Dan saat itu, aku sekaligus ingin berpamitan
pada Muara Musi yang banyak mendidikku itu. Aku berjanji tidak akan
menunggumu lagi setelah lima tahun penantianku yang tak berarti. Surat
itu, anggap saja wasiat dariku. Tentu aku tak ingin benar-benar
melupakan tempat bersejarah itu; Benteng Kuto Besak.”
Amir menyeringai, “Hh, kemana hilangnya sifat buasmu itu Dev?”
“Semua
orang bisa berubah Am, termasuk aku. Sudah ku bilang, aku banyak
belajar tentang hidup ketika menjadi ta’mir Masjid Agung. Aku belajar
sholat, ngaji, puasa senin-kamis, aku juga belajar bagaimana
menjadi orang yang menghargai orang lain. Sebaliknya, kau pun berubah
bukan? Iya, seperti yang kau katakan di lapangan tadi. Tapi, aku
menyayangkan perubahanmu Am. Apa itu ilmu yang kau banggakan tadi?
Konselor, konsultan keuangan, pengacara, apa arti semua itu kalau kau
jadi amburadul begini? Apa arti uang bermilyar rupiah, mobil mahal,
apartemen mewah, kalau semua itu kau dapatkan dari uang haram, membantu
meloloskan mafia negara, menjebak orang tak bersalah. Aku paham betul
apa saja yang dikerjakan profesi-profesi itu. Kau sudah terlalu jauh
terlibat kawan.” Amir mendengus.
“Kau tak tau kondisiku yang
sebenarnya sobat. Nantilah akan kubeberkan semuanya, kau sediakan saja
waktu berhargamu untuk mendengar petualanganku. Nah sekarang minum dan
makanlah sepuasmu, tentu kau tak akan membiarkan tenggorokanmu terus
kering setelah percakapan panjang kita bukan?”
***
“Besok siang sampai ashar aku ada waktu luang. Datanglah ke asrama, jika kau benar-benar ingin memperbaiki kesalahanmu.” Pesan singkat Deva.
“Baiklah!, kita lihat seberapa kukuh kau memegang egomu.” Batin Amir sambil merapikan setelan jasnya, memasang cuflink dan tie pin di dasinya, bergegas ke kantor baru, sudah ada klien penting yang menunggu.
***
“Kita mau kemana?” tanya Deva yang mematung disisi sopir.
“Ke
rumah baruku tentu saja. Seminggu yang lalu aku memutuskan membeli
rumah di pusat kota, sekaligus membuka kantor kecilku disana. Kurasa
akan lebih bebas berbincang disana dibanding direstoran yang ramai
lebih-lebih di belukar tempat jemuran baju.” Amir bergurau ringan, untuk
lima belas menit pertama ia cukup berhasil mencetak senyum Deva.
Permulaan yang bagus.
Sepuluh menit kemudian Grandmax hitam itu
sudah memasuki halaman sebuah rumah. Benar-benar dipusat kota.
Didepannya terpampang papan nama “Konsultan Ekonomi Antoni Mulya Irawan”
beserta sederet titel dibelakangnya yang tidak dipahami Deva apa
maksudnya.
“Santai saja, anggap kau sedang dikamar asramamu yang
baru kedatangan pesulap canggih. Aku tinggal sendiri disini. Ruangan
samping itu adalah kantorku. Nah, sekarang boleh aku mengajakmu berenang
mengarungi waktu lima tahunku?”
Tepat setelah Amir menyelesaikan
kalimatnya, seseorang menekan bel ruang tamu. ‘Assalamu’alaikum, ada
tamu. Assalamu’alaikum, ada tamu’ begitu bunyi bel rumah Amir. “Cukup
religius” pikir Deva.
“Boleh aku izin menemui tamuku?” Amir
meminta izin yang tak perlu. “Tentu saja” batin Deva. Namun ia berusaha
mulai bersikap manis pada Amir, “Silahkan tuan, layanilah tamu anda
dengan baik.” Deva takzim menyilakan. Amir menyeringai.
“Mungkin
aku butuh waktu sekitar tiga puluh menit. Kau boleh menyalakan tv atau
memutar dvd, atau melakukan apa pun yang kau suka.” Tanpa menunggu
kesediaan Deva, Amir sudah melesat menemui tamunya dan mengajaknya
berbincang diruang kerjanya.
Deva tak tertarik samasekali
menghidupkan tv atau iseng memutar dvd seperti saran Amir. Memeriksa
koleksi dvd pun tidak. Sejak pertama kali memasuki halaman rumah ini
fokus Deva terboikot oleh dua tempat; ruangan yang dipenuhi tumpukan
buku yang masih cukup berantakan, ada beberapa bagian yang menarik
perhatiannya disana, yaitu sebuah kaligrafi dan buku-buku yang sepintas
bertuliskan arab melayu. Dia pernah menjumpainya di pesantren. Yang
kedua, yaitu taman bunga kecil diberanda rumah yang didominasi tanaman
anggrek dengan berbagai jenis dan warna serta bunga-bunga lain. Dan
tentu saja bunga kertas, begitu kami biasa menyebutnya dulu. Bunga yang
menurut Amir merupakan lambang kerjasama itu menjalar dari potnya. Deva
tahu betul, bunga-bunga indah itu adalah Amir yang menanamnya sendiri.
Lelaki
penyayang itu, ia tetap penyayang. Meski disayangkan sikapnya yang agak
bertentangan dengan naluri penyayangnya. Tapi jiwa penyayang itu masih
sayang pergi dari pria yang mungkin selama hidupnya kekurangan kasih
sayang. Apapun pekerjaanmu, apapun sikapmu, bagaimana pun kasarnya
kata-katamu, bunga-bunga ini lebih dari cukup untuk menjelaskan apa
sesungguhnya yang tersemat dihatimu, lelaki penyayang.
Minggu, 13 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar