Minggu, 13 Desember 2015

Lelaki Penyayang Itu

Diposting oleh annhee pitunggal di 22.26
“Astaga!” seruan yang cukup mengejutkan Deva. “Kau menghela napas untuk yang ke sepuluh kalinya, bahkan untuk waktu kurang dari lima menit. Apa masalah hidupmu begitu serius?”
“Kau ini konselor apa psikiater sih. Jangan-jangan kau juga membubuhkan dibuku catatanmu berapa kali aku berkedip dalam semenit.” Dengus Deva kesal.
“Hey, kau perlu tau sobat. Aku belajar lebih dari sekedar menjadi konselor. Aku juga mempelajari bagaimana menjadi seorang pengacara, psikiater, guru, public speaker, entrepreneur, dan tak lupa tentu aku mempelajari ilmu botani sangat dalam. Aku mempelajari semua Dev, semua yang dibutuhkan untuk menghasilkan uang dan kesenangan. Aku bahkan mungkin lebih dalam mempelajarinya dari mereka yang sekedar iseng mencari titel diujung namanya.”



“Bahkan kau tak kan menyangka, aku pun banyak mengkaji cara-cara para tikus berdasi itu tentang skenarioo me-mark up­ anggaran, dan tak luput aku pun berusaha menjadi konsultan keuangan yang baik untuk aksi mereka. Kau tentu tau maksudku, semua benar-benar menarik bukan?.” Amir bersemangat menjelaskan bakatnya.
“Lima tahun tidak bertemu ternyata membuatmu benar-benar berubah Am, bahkan aku masih tidak mengenali sahabat kecilku sampai menit ke tiga puluh ini.” Deva melempar pandang pada ilalang yang berjajar didepannya.
“Ayolah sobat, lupakan masa lalu tak penting itu. Kita hidup untuk sekarang, bukan masa lalu. Aha, kau bicara apa tadi, aku berubah? Tidakkah kau lihat dirimu kawan, kau pun banyak berubah dari Deva sang pencopet sebelas tahun lalu dan kini, lihat tampangmu. Bah, aku bahkan tak percaya kau adalah Deva yang dulu ku kenal.” Amir tak mau kalah.
“Sudahlah, aku datang jauh-jauh kesini bukan untuk berdebat sobat. Sudah dua bulan yang lalu aku mengendus keberadaanmu. Meski kau tampak agak aneh dengan pakaianmu itu, aku senang kau baik-baik saja. Bahkan kau terlihat lebih tampan sekarang. Haha...” Amir merangkulkan tangannya ke bahu Deva, segera ditepiskan.
“Sudah bicaranya? Aku kembali ke kamarku.” Deva segera bangkit meninggalkan sahabat yang lama dirinduinya itu.
“Aku tak mengerti, beginikah caramu menyapa sahabat yang lama tak berjumpa? Deva, oke kau boleh marah padaku karena bertahun-tahun tak memberikan kabar padamu. Kau boleh menge-capku penghianat karena tak menepati janji, atau kau menganggap aku sebagai berandal tak tahu adab. Terserah kau. Aku datang kesini hanya untuk melihatmu, memastikan bahwa kau baik-baik saja. Kau pikir aku pergi dan menahan penderitaan disana untuk apa? Apa kau pikir ku habiskan waktuku disana untuk bersenang-senang. Kau salah...!” Amir menceracau bak petinju yang menghajar lawannya tanpa memberi celah sedetikpun untuk bernapas. Deva terpaku ditempatnya berdiri.
“Dev, maafkan aku. Aku mohon jangan pernah membenciku, karena hanya kau lah harta paling berharga yang kumiliki di dunia ini.” Amir terisak, memeluk Deva dari belakang.
“Lalu kenapa? Kau pergi tiba-tiba, dan setelah aku berusaha mati-matian melupakanmu, kini kau datang lagi, dengan tiba-tiba lagi.” Jawab Deva putus-putus. Tak kuasa menahan guruh didadanya. Betapa ia ingin pun ingin balas memeluk orang yang dicarinya bertahun-tahun itu, orang yang membanting stir hidupnya, menjadikannya manusia yang penuh tanggung jawab dan peduli terhadap sosial masyarakatnya. Tapi...
“Ayo kita ke rumah makan terdekat.” Amir menarik lengan Deva yang masih mematung ditempatnya berdiri.
“Tentu aku bukan untuk mengajakmu makan dan minum sekarang. Setidaknya kita bisa berbicara lebih nyaman sekaligus kau bisa langsung membatalkan puasamu jika sewaktu-waktu magrib tiba. Aku yang traktir, ok.” Kali ini dengan bahasa yang bijak Amir meyakinkan sahabatnya itu.
***
“Aku baru kembali dari Sydney tiga bulan lalu. Awal Mei tepatnya. Sebenarnya kontrak kerjaku sudah berakhir sejak Desember, tapi ada klien yang mau membayarku mahal untuk meloloskan proyeknya. Aku terpaksa tinggal.”
“Hari itu juga, satu jam setelah aku reservasi apartemen aku langsung mencarimu. Menyusur setiap sudut kota, mendatangi tempat-tempat yang biasa kita sambangi, tapi tetap tak ada hasil. Dua bulan mencarimu aku hampir putus asa. Sampai suatu ketika aku duduk dibawah pohon palem yang gagah di depan Kuto Besak, aku teringat sesuatu dan dugaanku benar, kau meninggalkan surat disana. Dari surat itu aku mulai menemukan titik terang keberadaanmu.” Pelayan datang bertepatan ketika Amir menyelesaikan kalimatnya. Segera ia memenuhi daftar pesanan dengan menu terbaik restoran itu.
“Kau tau seberapa putus asanya aku Am, bahkan dua bulanmu itu tidak cukup untuk menebusnya. Aku hampir kembali menjajaki bus-bus lagi satu bulan tepat setelah kau meninggalkanku dengan surat bodohmu itu. Tapi niatku urung karena ada yang berbaik hati meminjami tempat untukku berteduh dan bersedia menanggung makanku tiga kali sehari, semua itu dapat kutebus dengan menjadi tukang bersih-bersih masjid. Setidaknya aku merasa lebih aman disana, tidak perlu tidur di teras toko lebih-lebih mencopet untuk makan. Dari sanalah aku belajar hidup. Aku mengingatkan diriku untuk senantiasa bertanggung jawab pada diri sendiri dan orang-orang yang mempercayaiku. Dari sana pula aku bisa berada disini. Tak terbayang sudah besarnya jasa para ta’mir disana dalam hidupku.” Deva menerawang, memutar kembali slide-slide dokumenter masa lalunya.
Sudah lima belas menit sejak order, tapi pelayan belum datang membawa menu berbuka Deva. Sengaja Amir meminta agar disajikan lima menit sebelum magrib tiba, biar masih hangat. Dia tau betul selera Deva.
“Lalu suratmu itu?” Amir bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Deva yang masih lurus memandang ke arah luar restoran. Gerimis mulai turun.
“Aku datang kesana tepat dua bulan lalu, ada pertemuan para santri se-Sumbagsel dan aku ditunjuk mewakili pesantrenku ini. Dan saat itu, aku sekaligus ingin berpamitan pada Muara Musi yang banyak mendidikku itu. Aku berjanji tidak akan menunggumu lagi setelah lima tahun penantianku yang tak berarti. Surat itu, anggap saja wasiat dariku. Tentu aku tak ingin benar-benar melupakan tempat bersejarah itu; Benteng Kuto Besak.”
Amir menyeringai, “Hh, kemana hilangnya sifat buasmu itu Dev?”
“Semua orang bisa berubah Am, termasuk aku. Sudah ku bilang, aku banyak belajar tentang hidup ketika menjadi ta’mir Masjid Agung. Aku belajar sholat, ngaji, puasa senin-kamis, aku juga belajar bagaimana menjadi orang yang menghargai orang lain. Sebaliknya, kau pun berubah bukan? Iya, seperti yang kau katakan di lapangan tadi. Tapi, aku menyayangkan perubahanmu Am. Apa itu ilmu yang kau banggakan tadi? Konselor, konsultan keuangan, pengacara, apa arti semua itu kalau kau jadi amburadul begini? Apa arti uang bermilyar rupiah, mobil mahal, apartemen mewah, kalau semua itu kau dapatkan dari uang haram, membantu meloloskan mafia negara, menjebak orang tak bersalah. Aku paham betul apa saja yang dikerjakan profesi-profesi itu. Kau sudah terlalu jauh terlibat kawan.” Amir mendengus.
“Kau tak tau kondisiku yang sebenarnya sobat. Nantilah akan kubeberkan semuanya, kau sediakan saja waktu berhargamu untuk mendengar petualanganku. Nah sekarang minum dan makanlah sepuasmu, tentu kau tak akan membiarkan tenggorokanmu terus kering setelah percakapan panjang kita bukan?”
***
Besok siang sampai ashar aku ada waktu luang. Datanglah ke asrama, jika kau benar-benar ingin memperbaiki kesalahanmu.” Pesan singkat Deva.
“Baiklah!, kita lihat seberapa kukuh kau memegang egomu.” Batin Amir sambil merapikan setelan jasnya, memasang cuflink dan tie pin di dasinya, bergegas ke kantor baru, sudah ada klien penting yang menunggu.
***
“Kita mau kemana?” tanya Deva yang mematung disisi sopir.
“Ke rumah baruku tentu saja. Seminggu yang lalu aku memutuskan membeli rumah di pusat kota, sekaligus membuka kantor kecilku disana. Kurasa akan lebih bebas berbincang disana dibanding direstoran yang ramai lebih-lebih di belukar tempat jemuran baju.” Amir bergurau ringan, untuk lima belas menit pertama ia cukup berhasil mencetak senyum Deva. Permulaan yang bagus.
Sepuluh menit kemudian Grandmax hitam itu sudah memasuki halaman sebuah rumah. Benar-benar dipusat kota. Didepannya terpampang papan nama “Konsultan Ekonomi Antoni Mulya Irawan” beserta sederet titel dibelakangnya yang tidak dipahami Deva apa maksudnya.
“Santai saja, anggap kau sedang dikamar asramamu yang baru kedatangan pesulap canggih. Aku tinggal sendiri disini. Ruangan samping itu adalah kantorku. Nah, sekarang boleh aku mengajakmu berenang mengarungi waktu lima tahunku?”
Tepat setelah Amir menyelesaikan kalimatnya, seseorang menekan bel ruang tamu. ‘Assalamu’alaikum, ada tamu. Assalamu’alaikum, ada tamu’ begitu bunyi bel rumah Amir. “Cukup religius” pikir Deva.
“Boleh aku izin menemui tamuku?” Amir meminta izin yang tak perlu. “Tentu saja” batin Deva. Namun ia berusaha mulai bersikap manis pada Amir, “Silahkan tuan, layanilah tamu anda dengan baik.” Deva takzim menyilakan. Amir menyeringai.
“Mungkin aku butuh waktu sekitar tiga puluh menit. Kau boleh menyalakan tv atau memutar dvd, atau melakukan apa pun yang kau suka.” Tanpa menunggu kesediaan Deva, Amir sudah melesat menemui tamunya dan mengajaknya berbincang diruang kerjanya.
Deva tak tertarik samasekali menghidupkan tv atau iseng memutar dvd seperti saran Amir. Memeriksa koleksi dvd pun tidak. Sejak pertama kali memasuki halaman rumah ini fokus Deva terboikot oleh dua tempat; ruangan yang dipenuhi tumpukan buku yang masih cukup berantakan, ada beberapa bagian yang menarik perhatiannya disana, yaitu sebuah kaligrafi dan buku-buku yang sepintas bertuliskan arab melayu. Dia pernah menjumpainya di pesantren. Yang kedua, yaitu taman bunga kecil diberanda rumah yang didominasi tanaman anggrek dengan berbagai jenis dan warna serta bunga-bunga lain. Dan tentu saja bunga kertas, begitu kami biasa menyebutnya dulu. Bunga yang menurut Amir merupakan lambang kerjasama itu menjalar dari potnya. Deva tahu betul, bunga-bunga indah itu adalah Amir yang menanamnya sendiri.
Lelaki penyayang itu, ia tetap penyayang. Meski disayangkan sikapnya yang agak bertentangan dengan naluri penyayangnya. Tapi jiwa penyayang itu masih sayang pergi dari pria yang mungkin selama hidupnya kekurangan kasih sayang. Apapun pekerjaanmu, apapun sikapmu, bagaimana pun kasarnya kata-katamu, bunga-bunga ini lebih dari cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang tersemat dihatimu, lelaki penyayang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Anik Winarsih Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea