Duduk sendiri menatap hamparan ladang singkong
yang baru selesai ditanami. Disampingnya, pohon karet berbaris rapi seperti
tentara-tentara yang tegap berdiri. Pohon-pohon sawit gagah berdiri
dibelakangku.
Dalam sepi,,, aku bahkan bisa mendengar
bisikan angin yang menelisik disela daun-daun. Kelepak sayap burung yang
terbang rendah, semarak awan yang menggantung dilangit sore ini seakan ingin
menjelaskan bahwa bola langit ini terhampar luas bagai tiada ujung.
Sesungguhnya aku tak benar-benar sendiri. Kau lihat
pepohonan ang berjajar tenang memijak bumi yang tanahnya merekah karena lama
tak tersentuh hujan? Kau dengar desis angin, kelepak sayap, bahkan siulan
burung tekukur dipucuk pepohonan, awan-awan yang menggantung, semua bersamaku.
Dan tak ayal, disana, diatas ‘Arsy yang tinggi ada Dia yang bersemayam
menyaksikan gerak semesta serta polah setiap makhluk yang menghuninya.
Tapi, desis angin, gesekan daun, kelepak
sayap, tentu saja bukan sesuatu yang bisa ku ajak bercakap untuk mendapat
jawaban dari beribu pertanyaanku. Ahaa... untuk itulah aku duduk disini.
Ditempat yang sepi ini, aku bisa lebih banyak
berpikir, merasa, merenungi semua yang telah ku lakukan. Ditempat yang sepi ini
aku bisa ‘bercerita’ dengan lapang. Ditempat yang sepi ini aku bisa mengekspresikan
gejolak yang tumbuh di hatiku. Rabb... temukan aku dengan kedamaian...
Saat aku mulai berubah.
Sebuah pepatah mengatakan didunia ini tidak
akan ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Dan aku tidak termasuk
dalam pengecualian itu. aku berubah, sesuatu yang pasti. Sesuatu yang pasti
juga dialami setiap manusia. Tapi berubah itu memiliki dua kutub; positif dan
negatif. Maka, kearah manakah perubahanku? Positif atau negatifkah?
Dahulu aku adalah orang yang memiliki prinsip
yang jelas dan teguh dalam memegang prinsip itu. aku bahkan bersikap keras jika
ada orang atau hal-hal yang menggesek prinsipku. Aku tak segan-segan memarahi
(jika itu seseorang) dan tak segan-segan meninggalkan(jika itu adalah benda
atau perbuatan). Namun, jika sesuatu itu selaras dengan prinsipku aku bahkan
rela memperjuangkan segalanya karena sesuatu atau seseorang itu dekat dengan
prinsip yang kuyakini.
Waktu berlalu... jalanan liku membentang
dihadapanku. Menjadi mahasiswa ini ternyata membuatku mengembang sekaligus mengerdil.
Mulanya aku merasa bangga dengan prinsipku yang merupakan jelmaan jatidiriku.
Aku pun tak perlu malu atau takut mengatakan sesuatu itu benar jika memang itu
benar, dan salah jika memang itu salah, meski harus ada orang yang marah atau
terluka karena itu. bagiku kebenaran harus diperlakukan sebagaimana mestinya;
diungkap, bukan disembunyikan.
Perjalananku, disemester kedua mulai sampai
dijalan yang berkelok dan bergelombang. Hatiku yang selalu percaya pada prinsip
perlahan tergores oleh sentilan akta yang dilontarkan oleh seseorang yang
sayangnya waktu itu ku anggap sejalan dengan prinsipku. Aku merasa sakit bukan
main. Demam berkepanjangan. Bahkan aku merasa sangat terpuruk ketika aku harus
menghadapi dua hal yang sama-sama selaras dengan prinsipku mulai saling
berrebut peran. Waktu itu mk dan dei fossei adalah ujian terberat dari prinsip
yang kuyakini.
Namun apa boleh kata, nuraniku lebih memilih
fossei ketimbang mk, meski pada akhirnya aku harus menambah luka kedua dari
murobbi mk-ku, goresan yang membekas meski tak lebih dalam dari goresan
pertama. Demamku bertambah-tambah seiring bertambahnya kecintaanku pada fossei.
Saat itu dua dari 3 hal yang kuanggap selaras dengan prinsipku perlahan pudar
warnanya; Kammi dan ldk.
Waktu terus mengalir dan takkan pernah kembali
seperti air yang takkan mungkin berubah haluan kehulu ketika ia telah menuju
hilir. Lukaku belum lagi sembuh. Tapi Tuhan menjawab do’a yang ditiap sujud ku
junjungkan. Dia utus seseorang yang ku anggap dan ku rasa, dan merasa selaras dengan
jalan hidupku. Lukaku perlahan terobati. Saat itu aku duduk bersimpuh, Rabb
semoga ukhuwah ini kekal bersama-Mu.
Kehilangan ukhuwah sama dengan mengikis
prinsipku. Di perjalanan yang
selanjutnya ini aku terjerembab dalam lubang yang dalam. Tak hanya dalam,
lubang itu dipenuhi ranjau yang tajamnya mencabikku, aku luka disana-sini.
dalam gelapnya lubah itu, aku terkapar dalam kesendirian. Aku berkali bertanya
pada musafir yang lewat; maukan menolongku? Mereka hanya menganggukkan kepala
kemudian berlalu...
Mungkin ini karena prinsipku yang terlalu
kolot, pikirku. Maka perlahan aku mulai mencopoti prinsipku satu-persatu yang
telah sekian lama melekat erat dalam diriku.
Keberanianku berubah pengecut, semangatku
karena Allah berubah untuk pujian manusia, kesabaran dan ketabahanku berubah
menjadi amarah. Aku mulai berani memasang foto di facebook, berhaha hihi dengan
lawan jenis bahkan hingga diatas jam 9 malam. Enatah apa, aku hanya merasa
semua itu sebagai pembalasan atas masa remaja yang terrenggut karena prinsip
sialan itu. dan ternyata itu tak menenangkanku.
Sekarang, aku telah jauh melangkah. Aku
berbalik, memandang jalan yang telah kulalui, menyimak masa yang telah
terlewat. Mengapa aku menjadi lebih buruk daripada sebelumnya???
Aku bisa melihat bayangan itu, ketika aku
berdiri gagah menentang segala sesuatu yang tak sejalan denganku, ketika aku
gigih memperjuangkan keyakinanku. Sekarang apa? Aku hampir tak punya semua itu.
Kembali aku sendiri... langit mulai berubah
merah saga. Angin tak lelah berbisik menggetarkan daun-daun, membuatnya tampak
bernyawa. Burung masih bernyanyi, tapi cahaya langit mulai sirna, langit
menggelap.
Dalam kesendirian ini, aku menemui diriku yang
dulu. Mencari jawaban atas pertanyaanku; siapa aku? Untuk apa aku hidup?
Bagaimana seharusnya aku hidup? Sudahkah aku sesuai dengan yang seharusnya?
Jika iya, bagaimana agar aku bisa bertahan? Jika tidak, mengapa dan bagaimana
caraku kembali dan menjadi lbeih baik lagi...
Pencarian ini, belum mengantarkanku pada jawab
yang kucari. Tapi lolongan anjing dikejauhan mengingatkanku untuk kembali.
Kembali menjalani duniaku saat ini dengan membawa sdikit jawaban dari
penyendirian yang kulakukan.
Rabb... aku ingin kembali
Selasa, 26 Agustus 2014 jam 17.08-17.58
0 komentar:
Posting Komentar