“Deek, hape kamu bunyi tuh. Ada telepon.”
Teriak uni ku yang sedang memotong cabe di dapur. Hari ini kita sepakat masak bareng menyiapkan menu buka puasa.
“Dari siapa ni?, tolong angkatin dulu si ni.”
Aku yang sedang membersihkan ayam dihalaman belakang balas berteriak.
“Gk mauu, tangan uni pedes. Ntar mata uni kena
cabe. Dari Maya ni Dey.” Tahu telepon itu dari Maya, aku langsung bangkit dan
meninggalkan ayamku yang sedang dumutilasi. ((heheuu)
“Yah uni, udah mati kan. Jarang-jarang lho ni
Maya nelpon adek.” Aku memasang muka memelas.
“Ya mau gimana lagi, adek tau sendiri uni lagi
bergelut sama cabe gini. Tinggal ditelepon balik aja lho.” Jawab uniku tak
kalah memelas.
“Hehe, pinjam hape uni ya. Adek gk ada pulsa
buat nelpon nih.” ...”Eh, gk jadi deng ni. Ini orangnya sms.” Dan lemparan cabe
pun tepat mengenai mukaku, ah uni, masih jago men-shoot aja...
Aku memilih meja disudut ruangan. Mungkin
karena pengaruh darah A yang suka deket-deket tembok kali ya. Suasana rumah
makan masih sepi. Terang saja baru jam lima seperempat. Adzan magrib masih 55
menit lagi.
“Assalamu’alaikum ukhtiku yang sholehah?, apa
kabar nih?. Liburan ini pulang kampung gk?” pesan singkat Maya sore itu setelah
gagal meneleponku. Hem, tumben kata-katanya manis banget, batinku.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.
Alhamdulillah ana bi khair, wa anti? Iya nih, udah seminggu dirumah.” Balasku
sekenanya.
“Alhamdulillah khair juga. Eh, sore ini ada
acara gk? Buka bareng yuk, gue yang traktir deh. J” pesan
singkatnya kali ini diiringi senyum. Tumben.
“Yah, aku kira kamu udah tobat beneran, gk
pake’ eluh gueh lagi. Emm,, sore ini aku gk bisa. Udah janji mau buka bareng
sama keluarga. Mumpung ayah sama ibu gk ada acara diluar. Ini aku juga lagi
masak sama Uni Arin, nyiapin buat buka ntar. Kalo besok sore kaya’nya aku
nganggur.”
“Oke deh. Besok sore jam 5 di rumah makan
biasa ya. Ada yang mau aku obrolin. Plus, jangan bawa bodyguard ya. Because ini
privasi. Hihi.” Timpalmu untuk terakhir kali.
Dan disini, aku sudah menunggu sejak 15 menit
yang lalu sambil membaca kembali obrolan via sms kita sore kemarin. Dan
sekarang, ponselmu bahkan tak bisa dihubungi.
“Assalamu’alaikum ukhti cantik.”
“Masya Allah, kamu ngagetin aku aja.
Wa’alaikumsalam warahmatullah. Dari mana aja kamu, katanya jam 5. Kamu tau kan
aku paling gk suka molorisme.” Jawabku dengan sedikit kesal.
“Hehe, iyaa, maap deh. Jangan marah-marah gitu
neng. Ntar puasanya mubazir lagi. Hehe, sebenernya gue udah dateng dari jam
lima kurang, tapi disini belum ada orang. Trus gue inget dulu punya utang ama
elu. Jadi gue ke ATM bentar buat ngambil duit. Nih.” Katamu sambil menyodorkan
bungkusan ke arahku.
Aku mengernyitkan dahi, “Apa ini?”
“Itu hadiah dari gue. Ya gk bagus-bagus amat
si. Tapi moga aja elu suka, gue udah ngubek-ubek Candra sampe Cendrawasih buat
nyari’in satu yang cocok buat elu. Jadi terima ya. Sama ini uang yang dulu
pernah gue pinjem.” Kali ini kau menyodorkan amplop coklat kearahku.
“Ya Allah, baik banget saudariku ini. Ini baju
bagus banget May. Tapi, kamu gk lagi sakit kan?”
“Eh, sakit kenapa, emang gue kliatan kaya’
orang sakit apa? Gue sehat-sehat aja kok.” Masih dengan gayamu yang khas anak
gaul.
“Em, ya enggak. Aneh aja gitu. Langka rasanya
kamu sms pake salam, ditambah sapaan ukhti solehah lagi, trus Maya yang aku tau
itu gk bakalan mau bayar utang or mulangin barang-barang yang dia pinjem.”
“Hh, ya itulah sebabnya gue ngajak elu
ketemuan. Ada yang mau gue curhatin, tentang gue yang mungkin selama ini elu gk
tau.” Wajah sahabat SMK ku yang selalu nampak ceria itu tiba-tiba berubah
sendu.
Ku genggam erat gadis yang tanggal lahirnya
hanya berselang dua hari dengan ku itu. “Apa yang bisa ku bantu?” tanyaku
hati-hati. Dan buliran bening pun meluncur diujung matanya.
“Dey, gue pengen berubah.”
***
Dunia tiba-tiba gelap. Dan saat tersadar aku
telah berada diruangan yang amat ku kenali. Jam dindingnya, meja riasnya, rak
bukunya.
“Dek, udah bangun? Tadi kamu pingsan dijalan.
Untung ada yang ngenalin kamu, jadi dianter pulang deh. Adek sakit?” ingatanku
baru pulih semenit kemudian.
“Dek, kok diem aja? Tadi pas berangkat adek
ceria banget, lhah ini kok jadi bengong. Ada masalah apa?” uni terus
memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu ku jawab.
“Nah, kok malah nangis. Adek cerita deh sama
uni. Siapa tau uni bisa bantu.” Kebisuan merangkeng lidahku. Aku tak bisa
menjelaskan walau sepatah kata pun. Kusodorkan ponselku yang baterainya tinggal
satu karena tak sempat aku cas. Hari itu, aku terlalu bahagia untuk menyaksikan
sahabatku Maya mengekalkan azzamnya sebagai muslimah sejati dihari jadinya yang
ke 20. Sejak dua hari yang lalu, tepatnya di Ramadhan ke 27, 5 Agustus 2013
masehi kami sibuk mempersiapkan pesta syukuran kecil-kecilan untuknya dan sekaligus
memperingati miladku yang bertepatan 1 syawal ini.
Uni membaca pesan singkat dari papa Maya. Aku
pun semakin memperdalam tangisku. Uni memelukku erat, eraat sekali.
***
Aku sadar dari pingsanku yang kedua. Adzan
ashar sudah berkumandang, sementara uni memaksaku minum untuk memulihkan
energiku. Untuk kedua kali aku menolak. Uni ku pun tak punya pilihan lain
selain mengalah pada ke keras kepalaanku. Aku melihat ibu sangat cemas
memandangiku, sedang nenekku yang baru datang sore kemarin memijat-mijat lembut
lengan dan kakiku. Bibirnya yang mengeriput mengulum senyum, senyum yang
dipaksakan.
“Dey mana yang sakit, nenek pijitin ya. Liat
tuh, badan kamu kaku semua, pasti kamu kecapean karna kebanyakan aktivitas.” Suara
rentanya membuat hatiku semakin trenyuh. Yang sakit bukan disitu nek, tapi
disini, dihatiku.
“Papa mana ni?” uni yang hampir keluar dari
kamarku berbalik.
“Papa udah dirumah Maya dari tadi Dey. Nanti
kalo kamu udah kuat, kita kesana sama-sama ya.” Senyum tipisnya menggeletarkan
hatiku yang remuk redam. Ya, aku harus kuat. Aku harus bertemu Maya meski untuk
kali terakhir.
***
Keadaanku yang terlalu lemah membuat uni ku
bertindak tegas. Aku tak boleh kemanapun sampai aku bisa benar-benar berdiri
sendiri. Dan jam lima aku baru berhasil meyakinkan uni untuk mengantarkanku
menemui Maya. Akhirnya uni mengalah setelah aku memohon dengan diiringi isak
yang tak berkesudahan. Dengan kegugupannya dia memboncengkan aku disepeda motor
barunya, hadiah kelulusannya yang gemilang dari ayah. Ini adalah perjalanan
paling mengerikan yang pernah kulakukan dengan uni. Tak ada obrolah, tak ada
candaan, masing-masing larut dalam kegugupannya. Hanya sesekali uni
mengingatkanku agar berpegangan erat-erat, tentu ia khawatir aku akan jatuh.
Uni, beginikah pahitnya kehilangan? Apakah
kau juga takut kehilanganku?
Maya sudah dikebumikan jam empat sore tadi,
itu informasi yang kuperoleh dari ayah yang membantu pemakaman Maya. Tak buang
tempo, aku dan uni langsung menuju ke TPU Metro Selatan tempat Maya
beristirahat untuk kali terakhir. Peziarah sudah pulang kerumah masing-masing.
Hanya papa dan mamanya yang tinggal dipusaranya yang basah. Ayah langsung pamit
pulang padaku ketika menjumpaiku digerbang masuk TPU.
Senja mulai menggelincir, langit kemerahan
disisi langit barat. Perjalananku dari rumah memakan waktu dua puluh lima
menit, untuk sebuah tangan yang gemetar, jiwa yang gontai, perjalanan ini
terasa amat panjang. Magrib akan tiba 30 menit kedepan. Tiga puluh menit inilah
waktuku menjumpainya, berbicara dan bercerita dalam kebisuan. Menyapanya,
apakah kau disana baik-baik saja sahabatku?
Tanah merah pusara Maya bersatu dengan air
mataku yang terus tumpah. Mendengar cerita papanya, Maya kecelakaan ketika mau
membeli Stroberi di minimarket depan rumahnya. Menurut kabar dari orang-orang
yang menyaksikan kejadian itu, angin berhembus menerbangkan ujung jilbab Maya
dan menutupi matanya. Sementara di arat selatan datang motor dengan kecepatan
tinggi yang melimbungkan tubuh Maya seketika. Ia terpental cukup jauh dan
berakhir dengan membentur trotoar di depan rumahnya. Kepalanya luka parah dan
membuatnya tak tertolong lagi.
Aku hampir jatuh, namun uni menjagaku untuk
tetap tegak. Bagaimana bisa...
***
“Dey, gue pengen berubah.” “Gue pengen berubah jadi lebih baik lagi Dey,
berubah untuk selama-lamanya ninggalin kehidupan lama gue yang banyak maksiat.”
Isakmu semakin deras.
“Gue sadar, hidup gue selama ini jauh dari
tuntunan agama. Gue muslimah, tapi gk pake jilbab. Gue muslimah, tapi jarang
sholat. Masih hoby hang out sana-sini, masih doyan pacaran. Gue pengen berubah
Day, bener-bener berubah.” Ada kesungguhan disorot matanya yang selama ini hampir
tak pernah menangis.
“Cerita pelan-pelan, apa alasan kamu pengen
berubah.” Jawabku dengan kalimat yang tercekat.
“Dua bulan lalu, tepatnya pas ulang tahun Tia,
gue ama Edo ama temen-temen yang lain hang out sampe larut malem. Rendi yang
frustasi berat karna baru diputusin Winda, nraktir kita abis-abisan. Yang gk
gue tau, ternyata minuman yang dikasih Rendi itu beralkohol. Kita berlima mabuk
berat. Gue sampe gk inget pulang dan akhirnya terdampar di kosn Edo.
Beruntungnya Edo gk ngapa-ngapain gue.”
“Astaghfirullahal ‘adziim.” Dadaku bergemuruh,
kuucap dzikir untuk menenangkannya.
“Tapi Tia sama pacarnya, mereka... mereka...
hiks hiks.” Kugenggam erat tangannya, aku bisa merasakan ada beban yang
menggunung, ada rasa berdosa yang membuncah dihatinya.
“Siangnya gue dapat kabar dari Rendi, kalo
subuhnya Tia ama pacarnya, kecelakaan. Pacarnya tia tewas ditempat. Mereka
kecelakaan sepulang dari hotel menuju rumah Luki, pacarnya Tia. Sampe sakarang
Tia masih koma dan dibawa papanya ke Jakarta.” Maya berhenti sejenak, membasahi
tenggorokannya dengan udara segar.
“Sejak kejadian itu, gue selalu mimpi buruk.
Gue mimpi yang kecelakaan itu gue ama Edo. Trus ada makhluk mengerikan yang
maksa gue ikut dia. Baunya busuk banget, dan mereka nyeret gue buat dilempar ke
api. Gue gk mau, tapi mereka maksa. Mereka bilang gue pantes ke neraka. Dua
hari berturut-turut gue mimpiin hal yang mengerikan itu. Hari ketiga gue sakit.
Sampe seminggu badan gue demam tinggi. Gue baru sembuh waktu temen-temen kampus
jenguk gue, trus ada yang ngaji buat gue. Dari situ gue baru ngerasa tenang.
Panas dibadan mulai turun, dua hari kemudian gue boleh pulang.”
“Dirumah gue bener-bener kaya’ orang linglung.
Seminggu penuh gue gk keluar kamar. Kuliah gue berantakan, tugas numpuk.
Temen-temen, papa mama, semua gk ada yang tau apa yang sebenernya terjadi ama
gue. Gue gk mau orang lain tau, dan gue baru bisa cerita ini sama elu Dey.
Karna gue percaya, elu bisa bantu gue keluar dari masalah ini.”
“Sebulan sebelum Ramadhan gue banyak merenung.
Gue banyak baca-baca kajian islam di buku, majalah, internet. Gue coba ngerjain
tugas-tugas gue. Dari situ gue dapet pencerahan. Gue mulai tau apa yang musti
gue lakuin. Gue musti tobat Dey.”
Aku berpindah posisi, duduk disebelahnya,
meminjamkan bahuku untuk Maya.
“Jadii, sahabat kecilku ini udah mulai nemuin
jalan hidupnya. Hh, Alhamdulillah ya Allah. do’aku diijabah.” Kataku sambil
mencubit pipinya.
“Iya Dey, tapi elu musti bantu gue. Ajarin gue
gimana caranya jadi muslimah sejati. Ajarin gue ngaji, ajarin gue sholat,
ajarin gue pake jilbab. Yah, meski gue tau, gue gk mungkin bisa kaya’ elu.
Sopan, murah senyum, lemah lembut, bersahaja.”
“Naah, gantian ngledek. Semua orang bisa
berubah kok May, klo untuk lebih baik kenapa enggak. Lagian kan gk ada yang
bilang kamu musti kaya’ aku. Jadi diri sendiri aja. Oke?”
“He’em Dey.”
“Trus, alasan kamu bayar utang itu karena
ini?” aku mencoba mengalihkan suasana.
“Iyyaa, sebenernya gue udah tau dari semester
tiga kemaren, klo bayar utang tu wajib. Ada matakuliahnya juga malah Dey, waktu
itu udah dikupas tuntas sama Prof. Eni yang ngajar hadis ekonomi, dan elu pasti
gk nyangka kan, gue dapet A Dey. Haha, gue jadi geli sendiri, plus malu sama tu
nilai. Hh,” aku makin sayang kamu May.
“Dan tau gk Dey, sekarang gue udah putus sama
Edo. Dia tu yang mutusin duluan, gara-gara gue udah gk mau diajak hang out lagi
ama dia. Rasanya jiwa ini makin adem.”
“Hihihi...”
“Dey, elu janji ya ama gue, ajarin gue ngaji
sama pke jilbab. Bentar lagi kan gue ulang tahun, naah, gue pengen bikin acara
syukuran kecil-kecilan lah, and gue pengen ngumumin ke semua orang, kalau
seorang Maya Safitri, sahabat dari Diah Maharani akan mengenakan jilbab, kini
dan nanti. Insya Allah.”
...
Kenangan itu tenggelam bersama gaungan adzan
magrib. Uni memapahku menuju motor yang diparkirkan diluar TPU. Dengan langkah
berat aku meninggalkan Maya, May, jangan takut May. Allah sudah mencatat
niat baikmu. Dan jangan khawatir, disini aku akan selalu mengirimkan do’a
untukmu. Kau tak sendirian May....
6 Ramadhan 1434 H
0 komentar:
Posting Komentar