Selasa, 15 Desember 2015

Senyum Terakhir Sahabatku

Diposting oleh annhee pitunggal di 16.20
“Deek, hape kamu bunyi tuh. Ada telepon.” Teriak uni ku yang sedang memotong cabe di dapur. Hari ini kita sepakat  masak bareng menyiapkan menu buka puasa.
“Dari siapa ni?, tolong angkatin dulu si ni.” Aku yang sedang membersihkan ayam dihalaman belakang balas berteriak.
“Gk mauu, tangan uni pedes. Ntar mata uni kena cabe. Dari Maya ni Dey.” Tahu telepon itu dari Maya, aku langsung bangkit dan meninggalkan ayamku yang sedang dumutilasi. ((heheuu)
“Yah uni, udah mati kan. Jarang-jarang lho ni Maya nelpon adek.” Aku memasang muka memelas.
“Ya mau gimana lagi, adek tau sendiri uni lagi bergelut sama cabe gini. Tinggal ditelepon balik aja lho.” Jawab uniku tak kalah memelas.
“Hehe, pinjam hape uni ya. Adek gk ada pulsa buat nelpon nih.” ...”Eh, gk jadi deng ni. Ini orangnya sms.” Dan lemparan cabe pun tepat mengenai mukaku, ah uni, masih jago men-shoot aja...
***


Aku memilih meja disudut ruangan. Mungkin karena pengaruh darah A yang suka deket-deket tembok kali ya. Suasana rumah makan masih sepi. Terang saja baru jam lima seperempat. Adzan magrib masih 55 menit lagi.
“Assalamu’alaikum ukhtiku yang sholehah?, apa kabar nih?. Liburan ini pulang kampung gk?” pesan singkat Maya sore itu setelah gagal meneleponku. Hem, tumben kata-katanya manis banget, batinku.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Alhamdulillah ana bi khair, wa anti? Iya nih, udah seminggu dirumah.” Balasku sekenanya.
“Alhamdulillah khair juga. Eh, sore ini ada acara gk? Buka bareng yuk, gue yang traktir deh. J” pesan singkatnya kali ini diiringi senyum. Tumben.
“Yah, aku kira kamu udah tobat beneran, gk pake’ eluh gueh lagi. Emm,, sore ini aku gk bisa. Udah janji mau buka bareng sama keluarga. Mumpung ayah sama ibu gk ada acara diluar. Ini aku juga lagi masak sama Uni Arin, nyiapin buat buka ntar. Kalo besok sore kaya’nya aku nganggur.”
“Oke deh. Besok sore jam 5 di rumah makan biasa ya. Ada yang mau aku obrolin. Plus, jangan bawa bodyguard ya. Because ini privasi. Hihi.” Timpalmu untuk terakhir kali.
Dan disini, aku sudah menunggu sejak 15 menit yang lalu sambil membaca kembali obrolan via sms kita sore kemarin. Dan sekarang, ponselmu bahkan tak bisa dihubungi.
“Assalamu’alaikum ukhti cantik.”
“Masya Allah, kamu ngagetin aku aja. Wa’alaikumsalam warahmatullah. Dari mana aja kamu, katanya jam 5. Kamu tau kan aku paling gk suka molorisme.” Jawabku dengan sedikit kesal.
“Hehe, iyaa, maap deh. Jangan marah-marah gitu neng. Ntar puasanya mubazir lagi. Hehe, sebenernya gue udah dateng dari jam lima kurang, tapi disini belum ada orang. Trus gue inget dulu punya utang ama elu. Jadi gue ke ATM bentar buat ngambil duit. Nih.” Katamu sambil menyodorkan bungkusan ke arahku.
Aku mengernyitkan dahi, “Apa ini?”
“Itu hadiah dari gue. Ya gk bagus-bagus amat si. Tapi moga aja elu suka, gue udah ngubek-ubek Candra sampe Cendrawasih buat nyari’in satu yang cocok buat elu. Jadi terima ya. Sama ini uang yang dulu pernah gue pinjem.” Kali ini kau menyodorkan amplop coklat kearahku.
“Ya Allah, baik banget saudariku ini. Ini baju bagus banget May. Tapi, kamu gk lagi sakit kan?”
“Eh, sakit kenapa, emang gue kliatan kaya’ orang sakit apa? Gue sehat-sehat aja kok.” Masih dengan gayamu yang khas anak gaul.
“Em, ya enggak. Aneh aja gitu. Langka rasanya kamu sms pake salam, ditambah sapaan ukhti solehah lagi, trus Maya yang aku tau itu gk bakalan mau bayar utang or mulangin barang-barang yang dia pinjem.”
“Hh, ya itulah sebabnya gue ngajak elu ketemuan. Ada yang mau gue curhatin, tentang gue yang mungkin selama ini elu gk tau.” Wajah sahabat SMK ku yang selalu nampak ceria itu tiba-tiba berubah sendu.
Ku genggam erat gadis yang tanggal lahirnya hanya berselang dua hari dengan ku itu. “Apa yang bisa ku bantu?” tanyaku hati-hati. Dan buliran bening pun meluncur diujung matanya.
“Dey, gue pengen berubah.”
***
Dunia tiba-tiba gelap. Dan saat tersadar aku telah berada diruangan yang amat ku kenali. Jam dindingnya, meja riasnya, rak bukunya.
“Dek, udah bangun? Tadi kamu pingsan dijalan. Untung ada yang ngenalin kamu, jadi dianter pulang deh. Adek sakit?” ingatanku baru pulih semenit kemudian.
“Dek, kok diem aja? Tadi pas berangkat adek ceria banget, lhah ini kok jadi bengong. Ada masalah apa?” uni terus memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu ku jawab.
“Nah, kok malah nangis. Adek cerita deh sama uni. Siapa tau uni bisa bantu.” Kebisuan merangkeng lidahku. Aku tak bisa menjelaskan walau sepatah kata pun. Kusodorkan ponselku yang baterainya tinggal satu karena tak sempat aku cas. Hari itu, aku terlalu bahagia untuk menyaksikan sahabatku Maya mengekalkan azzamnya sebagai muslimah sejati dihari jadinya yang ke 20. Sejak dua hari yang lalu, tepatnya di Ramadhan ke 27, 5 Agustus 2013 masehi kami sibuk mempersiapkan pesta syukuran kecil-kecilan untuknya dan sekaligus memperingati miladku yang bertepatan 1 syawal ini.
Uni membaca pesan singkat dari papa Maya. Aku pun semakin memperdalam tangisku. Uni memelukku erat, eraat sekali.
***
Aku sadar dari pingsanku yang kedua. Adzan ashar sudah berkumandang, sementara uni memaksaku minum untuk memulihkan energiku. Untuk kedua kali aku menolak. Uni ku pun tak punya pilihan lain selain mengalah pada ke keras kepalaanku. Aku melihat ibu sangat cemas memandangiku, sedang nenekku yang baru datang sore kemarin memijat-mijat lembut lengan dan kakiku. Bibirnya yang mengeriput mengulum senyum, senyum yang dipaksakan.
“Dey mana yang sakit, nenek pijitin ya. Liat tuh, badan kamu kaku semua, pasti kamu kecapean karna kebanyakan aktivitas.” Suara rentanya membuat hatiku semakin trenyuh. Yang sakit bukan disitu nek, tapi disini, dihatiku.
“Papa mana ni?” uni yang hampir keluar dari kamarku berbalik.
“Papa udah dirumah Maya dari tadi Dey. Nanti kalo kamu udah kuat, kita kesana sama-sama ya.” Senyum tipisnya menggeletarkan hatiku yang remuk redam. Ya, aku harus kuat. Aku harus bertemu Maya meski untuk kali terakhir.
***
Keadaanku yang terlalu lemah membuat uni ku bertindak tegas. Aku tak boleh kemanapun sampai aku bisa benar-benar berdiri sendiri. Dan jam lima aku baru berhasil meyakinkan uni untuk mengantarkanku menemui Maya. Akhirnya uni mengalah setelah aku memohon dengan diiringi isak yang tak berkesudahan. Dengan kegugupannya dia memboncengkan aku disepeda motor barunya, hadiah kelulusannya yang gemilang dari ayah. Ini adalah perjalanan paling mengerikan yang pernah kulakukan dengan uni. Tak ada obrolah, tak ada candaan, masing-masing larut dalam kegugupannya. Hanya sesekali uni mengingatkanku agar berpegangan erat-erat, tentu ia khawatir aku akan jatuh.
Uni, beginikah pahitnya kehilangan? Apakah kau juga takut kehilanganku?
Maya sudah dikebumikan jam empat sore tadi, itu informasi yang kuperoleh dari ayah yang membantu pemakaman Maya. Tak buang tempo, aku dan uni langsung menuju ke TPU Metro Selatan tempat Maya beristirahat untuk kali terakhir. Peziarah sudah pulang kerumah masing-masing. Hanya papa dan mamanya yang tinggal dipusaranya yang basah. Ayah langsung pamit pulang padaku ketika menjumpaiku digerbang masuk TPU.
Senja mulai menggelincir, langit kemerahan disisi langit barat. Perjalananku dari rumah memakan waktu dua puluh lima menit, untuk sebuah tangan yang gemetar, jiwa yang gontai, perjalanan ini terasa amat panjang. Magrib akan tiba 30 menit kedepan. Tiga puluh menit inilah waktuku menjumpainya, berbicara dan bercerita dalam kebisuan. Menyapanya, apakah kau disana baik-baik saja sahabatku?
Tanah merah pusara Maya bersatu dengan air mataku yang terus tumpah. Mendengar cerita papanya, Maya kecelakaan ketika mau membeli Stroberi di minimarket depan rumahnya. Menurut kabar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, angin berhembus menerbangkan ujung jilbab Maya dan menutupi matanya. Sementara di arat selatan datang motor dengan kecepatan tinggi yang melimbungkan tubuh Maya seketika. Ia terpental cukup jauh dan berakhir dengan membentur trotoar di depan rumahnya. Kepalanya luka parah dan membuatnya tak tertolong lagi.
Aku hampir jatuh, namun uni menjagaku untuk tetap tegak. Bagaimana bisa...
***
“Dey, gue pengen berubah.”  “Gue pengen berubah jadi lebih baik lagi Dey, berubah untuk selama-lamanya ninggalin kehidupan lama gue yang banyak maksiat.” Isakmu semakin deras.
“Gue sadar, hidup gue selama ini jauh dari tuntunan agama. Gue muslimah, tapi gk pake jilbab. Gue muslimah, tapi jarang sholat. Masih hoby hang out sana-sini, masih doyan pacaran. Gue pengen berubah Day, bener-bener berubah.” Ada kesungguhan disorot matanya yang selama ini hampir tak pernah menangis.
“Cerita pelan-pelan, apa alasan kamu pengen berubah.” Jawabku dengan kalimat yang tercekat.
“Dua bulan lalu, tepatnya pas ulang tahun Tia, gue ama Edo ama temen-temen yang lain hang out sampe larut malem. Rendi yang frustasi berat karna baru diputusin Winda, nraktir kita abis-abisan. Yang gk gue tau, ternyata minuman yang dikasih Rendi itu beralkohol. Kita berlima mabuk berat. Gue sampe gk inget pulang dan akhirnya terdampar di kosn Edo. Beruntungnya Edo gk ngapa-ngapain gue.”
“Astaghfirullahal ‘adziim.” Dadaku bergemuruh, kuucap dzikir untuk menenangkannya.
“Tapi Tia sama pacarnya, mereka... mereka... hiks hiks.” Kugenggam erat tangannya, aku bisa merasakan ada beban yang menggunung, ada rasa berdosa yang membuncah dihatinya.
“Siangnya gue dapat kabar dari Rendi, kalo subuhnya Tia ama pacarnya, kecelakaan. Pacarnya tia tewas ditempat. Mereka kecelakaan sepulang dari hotel menuju rumah Luki, pacarnya Tia. Sampe sakarang Tia masih koma dan dibawa papanya ke Jakarta.” Maya berhenti sejenak, membasahi tenggorokannya dengan udara segar.
“Sejak kejadian itu, gue selalu mimpi buruk. Gue mimpi yang kecelakaan itu gue ama Edo. Trus ada makhluk mengerikan yang maksa gue ikut dia. Baunya busuk banget, dan mereka nyeret gue buat dilempar ke api. Gue gk mau, tapi mereka maksa. Mereka bilang gue pantes ke neraka. Dua hari berturut-turut gue mimpiin hal yang mengerikan itu. Hari ketiga gue sakit. Sampe seminggu badan gue demam tinggi. Gue baru sembuh waktu temen-temen kampus jenguk gue, trus ada yang ngaji buat gue. Dari situ gue baru ngerasa tenang. Panas dibadan mulai turun, dua hari kemudian gue boleh pulang.”
“Dirumah gue bener-bener kaya’ orang linglung. Seminggu penuh gue gk keluar kamar. Kuliah gue berantakan, tugas numpuk. Temen-temen, papa mama, semua gk ada yang tau apa yang sebenernya terjadi ama gue. Gue gk mau orang lain tau, dan gue baru bisa cerita ini sama elu Dey. Karna gue percaya, elu bisa bantu gue keluar dari masalah ini.”
“Sebulan sebelum Ramadhan gue banyak merenung. Gue banyak baca-baca kajian islam di buku, majalah, internet. Gue coba ngerjain tugas-tugas gue. Dari situ gue dapet pencerahan. Gue mulai tau apa yang musti gue lakuin. Gue musti tobat Dey.”
Aku berpindah posisi, duduk disebelahnya, meminjamkan bahuku untuk Maya.
“Jadii, sahabat kecilku ini udah mulai nemuin jalan hidupnya. Hh, Alhamdulillah ya Allah. do’aku diijabah.” Kataku sambil mencubit pipinya.
“Iya Dey, tapi elu musti bantu gue. Ajarin gue gimana caranya jadi muslimah sejati. Ajarin gue ngaji, ajarin gue sholat, ajarin gue pake jilbab. Yah, meski gue tau, gue gk mungkin bisa kaya’ elu. Sopan, murah senyum, lemah lembut, bersahaja.”
“Naah, gantian ngledek. Semua orang bisa berubah kok May, klo untuk lebih baik kenapa enggak. Lagian kan gk ada yang bilang kamu musti kaya’ aku. Jadi diri sendiri aja. Oke?”
“He’em Dey.”
“Trus, alasan kamu bayar utang itu karena ini?” aku mencoba mengalihkan suasana.
“Iyyaa, sebenernya gue udah tau dari semester tiga kemaren, klo bayar utang tu wajib. Ada matakuliahnya juga malah Dey, waktu itu udah dikupas tuntas sama Prof. Eni yang ngajar hadis ekonomi, dan elu pasti gk nyangka kan, gue dapet A Dey. Haha, gue jadi geli sendiri, plus malu sama tu nilai. Hh,” aku makin sayang kamu May.
“Dan tau gk Dey, sekarang gue udah putus sama Edo. Dia tu yang mutusin duluan, gara-gara gue udah gk mau diajak hang out lagi ama dia. Rasanya jiwa ini makin adem.”
“Hihihi...”
“Dey, elu janji ya ama gue, ajarin gue ngaji sama pke jilbab. Bentar lagi kan gue ulang tahun, naah, gue pengen bikin acara syukuran kecil-kecilan lah, and gue pengen ngumumin ke semua orang, kalau seorang Maya Safitri, sahabat dari Diah Maharani akan mengenakan jilbab, kini dan nanti. Insya Allah.”
...
Kenangan itu tenggelam bersama gaungan adzan magrib. Uni memapahku menuju motor yang diparkirkan diluar TPU. Dengan langkah berat aku meninggalkan Maya, May, jangan takut May. Allah sudah mencatat niat baikmu. Dan jangan khawatir, disini aku akan selalu mengirimkan do’a untukmu. Kau tak sendirian May....

6 Ramadhan 1434 H






0 komentar:

Posting Komentar

 

Anik Winarsih Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea